Sosial media saya malam ini sibuk diserbu broadcast mengenai "yang katanya" rekan kita mahasiswa, dulur kita sesama pengejar ijazah pendidikan tinggi itu didzolimi oleh pihak yang berkuasa. Semua kawan-kawan, dulur mahasiswa heboh, gempar. Semua satu mendukung. Satu terluka, semua menderita. Mungkin itu keyword super dan menyentuh bagi kita sesama mahasiswa.
Rekan, dulur kita di salah satu PTN ibu kota di depak dari kampus oleh pejabat berwenang dengan tuduhan yang tak biasa dan tak bisa dianggap angin lalu saja. Pasal dalam perundang-undangan sahut menyahut. Langgar pasal ITE, pasal pencemaran nama baik, pasal tindakan penghasutan dan sebagainya.
Semua rekan-rekan, dulur sesama mahasiswa se-Indonesia saling lempar berita, mengabarkan ada dulur kita yang tercampakkan oleh kekuasaan. Tanpa kroscek dengan bangganya kita bantu sebar berita yang belum kita konfirmasi sebelumnya. Belum kita telusuri kebenarannya.
Mungkin saat ini momen yang tepat untuk kita semua. Mahasiswa dituntut kritis tapi tetap harus realistis dan logis. Kita bisa bersuara lantang dengan pegangan alat dan atau data akurat sebagai bukti. Kita jangan termakan isu. Kalau sebatas mengikuti isu tanpa ada kejelasan, cukuplah pribadi sendiri yang konsumsi. Atau boleh sharing kepada dia yang bisa dipercaya. Jangan langsung di lempar ke publik.
Penguasa ini salah, begini, begitu, melanggar ini, melanggar itu harus dibuktikan dengan fakta, bukan sekedar isu yang kita racik dengan opini pribadi dan mungkin terkontaminasi bisikan-bisikan lawan dari sang penguasa yang ingin sang penguasa jatuh dengan cara kita, cara mahasiswa. Kita jangan sampai terhasut.
Dengan adanya kejadian ini, mungkin bisa jadi bahan introspeksi diri. Kata orang mahasiwa itu penyambung lidah rakyat. Tidak sepenuhnya saya setuju. Basic kita ialah kuliah. Untuk dapat di posisi sekarang, sebagai mahasiswa perjuangan kita tidak mudah. Menyelesaikan pendidikan 12 tahun mungkin lebih, mungkin kurang. Belum lagi perjuangan mendapatkan bangku kuliah, kita harus berjibaku melawan ribuan orang untuk dapat posisi kita sekarang ini. Perjuangan orang tua menyediakan dana pendidikan kita yang tak sedikit. Jerih payah keringatnya, doanya agar kita anaknya mendapat pendidikan yang tinggi tentu layak. Agar apa? Banyak harapan dalam doa mereka, harapan kita mengangkat derajat keluarga, harapan kehidupan kita yang baik, dan banyak harapan orang tua yang tersemat dalam status kita sebagai mahasiswa ini. Sudah saatnya mindset kita di reset. Kembali ke pengaturan pabrik. Bahwasanya kita memiliki tujuan dasar sebagai mahasiswa. Bukan kewajiban kita untuk demo sana sini, tuntut sana, tuntut sini. Biarlah semua berjalan semestinya. Kita fokus pada tujuan dasar kita, biarlah semua terangkum dengan semua rules nya. Penguasa eksekutif, ada legislatif yang mengawasi. Bidang hukum, biarlah yudikatif yang bertindak. Kita hidup di negeri merdeka, semua sudah berjalan sesuai koridor dan kaidahnya.
Penyambung lidah rakyat ada lembaga legislatif. Itu lembaga, bukan mahasiswa yang sebatas objek. Belum lagi ada profesional, aktifis-aktifis sebenarnya dan lembaga swadaya yang lebih berkompeten mengurus itu semua.
Masalah penguasa tidak usah sibuk oceh sana sini. Dari 2004 kita sudah demokrasi seutuhnya. Kita diberi kebebasan memilih penguasa. Ada salah sana sini, salah penguasa? Bukan! Itu salah kita semua. Salah kita sebagai golongan terpelajar yang tidak dapat banyak memasok bagian dari kita yang layak jadi penguasa. Beginilah jadinya. Kita diberi jalan tapi tak mampu memanfaatkan secara maksimal. Sekarang apa? Biarlah kita ikuti semua sampai selesai. Bukan kewajiban kita menyalahkan, tuntut sana sini.
Dan pada poinnya, semua peristiwa ini menjadi pembelajaran kita semua. Biarlah yang bersangkutan bertindak sesuai koridor untuk mengembalikan hak-nya. Kita sebagai sesama mahasiswa mendukung, baik moril dan juga doa. Kita jangan terpancing untuk ikut dalam hal yang belum jelas. Biarlah semuanya terselesaikan sebagaimana mestinya. Kita hanya berharap yang terbaik. Pengalaman biarlah tetap menjadi pembelajaran yang paling berharga.
Sekali lagi, jangan terpancing. Mahasiswa, biasakan realistis dan logis.
Hidup mahasiswa!
Selasa, 05 Januari 2016
Sabtu, 05 Desember 2015
Ini Entrian Khusus Buat Cewek-Cewek
StandardSenin, 12 Oktober 2015
Duduk Diam dan Mati atau Bangkit dan Melawan? Hahaha Ga Jelas!
StandardUdah lama ga mosting. Dibilang sibuk ya sesibuk-sibuknya sampah ya gitu deh. Sebenernya di blog ini gue pengennya isinya santai, intinya sampah ga jelas yang ga bikin berat palak buat bacanya.
Tapi ada 1 topik yang kek-nya ga bisa buat gue diem. Lu semua udah tau kan, gue tinggal di ranah mie celor, kota bakal berlangsungnya Asian Games 2018 ntar. Kalian yang nonton di tv, liat di portal news online, sosmed, segala macem tentang apa yang lagi happening banget di kota gue pasti udah tau kan? Yaps, kabut asep.
Disini ada kalimat menarik dari kawan-kawan mahasiswa di kota gue ini. "Duduk diam dan mati menghirup asap atau bergerak dan melawan,". Menurut gue personal ini lucu. Data terakhir yang gue liat berdasarkan laporan Badan Lingkungan Hidup kota Palembang yang dimuat di salah satu koran lokal per 30 September lalu menunjukan angka ISPU udah 400an, di level sangat berbahaya. Gatau belakangan ini. Mungkin udah ribuan atau berapa kali lipat dari data itu. Soalnya baru beberapa menit lalu gue balik dari kampus, jalanan itu udah ketutup asep.
Poin gue disini, lucunya kawan-kawan mahasiswa dengan "gagahnya" bilang mati menghirup asap atau bangkit dan melawan. Dengan apa? Mereka bilang sih aksi damai turun ke jalan. Bahasa simpelnya apa? Demo kan? Mau demo siapa? Kalo demo pasti ada yang dituntut, ada yang disalahkan. Mereka mau nuntut siapa? Nyalahin siapa? Pemerintah? Gubernur? Presiden? Kalo menurut gue sih simpel banget. Buat apa demo? Dengan demo, asep bakal hilang? Engga kan? Itu yang kata gue orang yang ga ada kerjaan. Aktifis ga jelas. Sorry aja kasar bahasa gue. Tapi pandangan gue ya gitu. Emang dengan demo bakal padam api? Ya enggak. Demo cuma mau nyalahin orang. Gini loh, presiden dan pemerintah itu kerjanya ga cuma ngatesin asep. Ga cuma mademin api. Banyak tugas presiden yang ga kalah penting. Rupiah tergerus terus menerus, phk dimana-mana, tragedi ibadah haji kemaren, sampe yang terbaru kasus kekerasan terhadap anak yang sudah batas darurat. Bukan gue mau ngesampingin masalah asep ini. Kalian bilang sakit mata, pilek, radang tenggorokan, ampe sesak napas. Gue juga ngerasainya cuk. Mata gue pedih, hidung gue pilek, tenggorokan gue radang, napas juga rada susah. Ya terus gue musti demo, nuntut dan nyalahin pemerintah? Ya enggaklah. Jangan manja ah. Bukannya hampir tiap tahun kita ngerasain asep? Banyak korban ISPA berjatuhan? Ya takdir. Kalo pun sampe meninggal ya berarti ketentuan dia emang meninggal karena asep.
Sorry, ga maksud belain Pak Jokowi ataupun pak Alex. Jujur pemilu kemaren gue bukan salah satu pemilih mereka. Tapi ga berarti gue harus nyalahin mereka. Toh ini bukan salah pemerintah doang. Bukan masalah perusahaan yang bakar lahan. Tapi balik lagi ke kita. Ini kesalahan kita bersama. Mungkin sodara-sodara kita yang di daerah juga melakukan pembakaran lahan lama buat buka lahan baru. Mestinya mulai dari diri, keluarga, dan lingkungan kita buat mengingatkan biar ga usah bakar buat buka lahan baru. Belum lagi di rumah kita yang suka bakar sampah. Kenapa musti dibakar kalo ada tempat buangnya?
Intinya dengan demo, asep ga bakal hilang. Titik apa ga bakal padam sendirinya. Ini emang kesalahan kita yang bakar lahan, ditambah cuaca yang kemarau dan pergerakan angin yang mengarah ke kota kita. Pemerintah gue yakin udah maksimal buat ngatasin masalah ini. Mungkin beberapa titik api sudah padam, tapi ya faktor cuaca tadi, lahan yang udah padam eh kebakar lagi.
Kita tunggu aja, pemerintah pasti udah ada jalan keluarnya. Tinggal kita tunggu endingnya. Dengan demo ga bakalan ilang ini asep. Daripada demo, turun ke jalan, panas-panasan, ngehirup asep lebih banyak daripada di rumah, mending di rumah, nyantai. Kita tunggu pemerintah. Demo ga nyelesaiin masalah. Kalo kalian emang mau melawan asep ini ya mestinya kalian turun langsung ke lokasi lahan terbakar. Bahkan pak Gubernur janji in umroh buat siapapun yang berani padamin api di lokasi 2 jam aja (detik.com). Ga usah lama-lama. Itu lebih efektif dan itung-itung bantu pemerintah dan dapet hadiah umroh pula. Daripada demo ga jelas.
Gue sih mikir pake logika dan nalar doang. Ga asal ikut-ikutan orang. Apalagi sampe jadi aktifis ga jelas. Kita mikir rasional dan efisien aja. Kita mahasiswa, berpikir kritis tapi harus jelas. Sekali lagi poin gue, demo itu ga guna.
Udah sampe sini aja, keburu otak gue leler ini.
Oke, see next postingan
Selasa, 15 September 2015
When I was your man
StandardTunggu gue kelar kuliah dulu yah?
Setahun lagi kok ^_^
Setahun ke depan gue bakal jadi engineer mesin yang insya allah berkompeten. Engineer mesin yang insya allah berkemampuan handal. Tapi kelar gue kuliah elu bisa kan tunggu lagi? Kelar kuliah gue kerja di corporate besar. Tunggu gue ngumpulin lembaran dolar/rupiah yang bejibun dulu. Tunggu gue beli rumah dulu. Tunggu gue beli mobil dulu. Tunggu gue punya banyak deposito yah? Bisa kan nunggu gue? Gak akan lama kok. Tunggu gue mapan. Biar gue bisa bahagiain elu. Biar gue bisa ngeliat lu bangga di saban arisan ibu-ibu ntar, elu bakal dengan pede-nya ngebanggain gue. Tunggu gue mapan. Gue ga mau liat elu capek bolak-balik pindah dari satu rumah sewaan ke rumah sewaan lain. Gue ga mau liat elu capek.
Tunggu gue mapan dulu ya? Gue ga mau liat elu capek, panas-panasan, desak-desakan dalem angkot buat bolak balik berpergian. Gue ga mau liat elu capek.
Tunggu gue mapan dulu ya? Gue ga mau ngeliat elu capek nyari duit. Gue mau elu duduk tenang dan nyaman di istana kita nanti, ngurus anak kita. Gue ga mau elu khawatir mikirin keuangan kita. Gue ga mau elu khawatir dengan pendidikan anak kita.
Tunggu gue mapan ya? Gue janji ga bakal lama. Selagi gue usahain janji gue, elu boleh kok ngebagi sementara cinta elu ke orang yang membutuhkannya. Selagi gue ngeusahain kebahagian keluarga kita ntar, gue ikhlas kok ngeliat elu bahagia sementara dengan yang lain.
Gue ga pengen elu ngerasa jenuh selagi nungguin janji kebahagian yang gue ikrar'in saat ini, hari ini, malam ini.
Tunggu gue yah? Tunggu engineer mesin ini. Gue janji ga bakal ngebagi hati ini ke siapapun meski secuil. Tapi elu jangan. Biarlah elu bahagia sementara ini dengan yang lain. Biarlah elu ngebagi hati li saat ini. Gue ikhlas. Tapi gue bakal tunaiin janji ini. Ntar gue bakalan datang ke elu dengan kebahagian ke depan yang gue janjiin.
Tunggu setahun lagi calon engineer mesin ini ngelarin kuliahnya.
Tunggu gue kumpulin sepatah demi sepatah rangkaian puzzle kebahagian yang gue janji in sama lu malem ini. Tenang aja, ga ada seorangpun yang bakal ngerusak janji gue ke elu ini. Gue cuma minta elu nunggu. Tapi tunggulah janji ini dengan sementara elu bagi hati elu yang nantinya bakal utuh milik gue je orang lain.
Tunggu gue, please ^_^
Palembang, 15 September 2015
Ttd,
Calon engineer mesin.
Kamis, 10 September 2015
What a ...
StandardKamis, 10 September 2015
Seinget gue itu sekitar jam 3an sore. Udah setengah jam gue ngejogrog di tempat biasa. Jam pertama sampe waktu break gue abisin di lab mekanik. Ga penting buat gue jabarin belajar apa, tetek bengek segala macemnya.
Saat itu pas momen sate bakar pedes gila 2 tusuk lenyap tersantap dengan khilaf. Ditambah seporsi mie ayam.
Gue ga tau salah apa hari ini, kelar semua kekhilafan gue tadi, saat asyik nyampah bareng temen gue, ngebanyol hal yang ga jelas bareng anak semester 3, ngakalin maba, seppppp dari jauh keliatan rombongan pake kemeja putih berdasi dan celana bahan warna item. Ciri khas maba jurusan non rekayasa. Njingjing, gue liat tuh orang. Seseorang lebih tepatnya. Dia yang udah ngehancurin perasaan yang udah cukup sabar gue pupuk. Dia yang datang dengan polosnya. Dia yang datang karena undangan gue sebagai calon kakak tingkat yang baik. Gue yang berusaha berbaik hati dengan keluarganya yang udah anggep gue bagian dari keluarganya. Jadilah gue sodara yang berbaik hati. Dengan senang hati menunjukkan kebahagian yang udah gue dapetin.
Beginning-nya sih lancar aja kek jalan tol. Sebagai sodara yang berbaik hati menjalankan peran sodara. Ha cukup waktu peran itu gue maenin. Awalnya bahkan sampe akhir ga ada kalimat capek berbaik hati yang kepikiran di gue. Sumpah, sampe sekarang hal itu ga sampe kepikiran.
Dua bulan dari sana, mulailah setitik demi setitik kebahagian gue senyap. Lebih tepatnya sih lenyap. Ibarat orang mati dibunuh, serasanya sih dibunuh pake benda tumpul. Sakit banget dulu yang gue rasain, menderita dulu sebelum mati. Kalo pake sajam kan enak, ditusuk, darah nyerocos, jleb mati. Sakitnya sekali rasa.
Dua tahun gue njir ilang. Mati. Lenyap ditelan keberanian waktu yang ia buat berbicara. Dua tahun gue mendadak berisi kebahagian gue yang amat gue syukuri berubah menjadi kepahitan yang menyiksa. Nyesek banget.
Dua tahun gue demi yang gue perjuangin hilang oleh dua bulan keberanian waktu mengungkapkan lebih dulu. Hilang sudah wacana-wacana,rencana indah yang udah gue susun jauh hari. Kesiapan mental gue buat sedikit berantem sama sohib gue, kesiapan ngebuang rasa malu gue. Semua sirna sudah. Oleh sodara yang dengan berbaik hati gue kenalkan ke ruang lingkup kebahagian gue.
Ah njir, masalah waktu no one knows. But you have a changes.
Disana yang sampe sekarang gue
seselin. Dua tahun gue, dua tahun perjuangan gue. Dua tahun isi senyum, cemberut, ngakak, nangis, heboh, ramenya kebahagian gue, kandas sudah dalam dua bulan.
Dan hari ini, gue ketemu dengan the 'crusher' moment. Perusak kebahagian gue. Bahasa simpelnya, bedebah penyesak hati gue.
Gue sih cuma bisa buat pm 'f*ckingB*tch' liat sodara yang berbaik hati.